Kini aku berdiri pada dua jalan yang berbeda, dengan
wajah yang berbeda pula. Terkadang aku berjalan pada koridor sebelah kanan
dengan wajah berseri, terkadang pula aku berjalan di koridor sebelah kiri
dengan wajah yang semrawut. Aku bukan tak mempunyai pilihan, hanya saja aku
selalu tak berani untuk memilih, aku terlalu takut untuk menghadapi setiap
tantangan yang ada di jalan yang kupilih. Sehingga kini, aku masih di sini, di
garis awal dengan dua jalan berbeda yang masih menyatu, koridor kanan dan
koridor kiri yang tak bersekat.
Aku hidup
dalam dua alam, dua jalan yang berbeda. Jalan yang terang benderang dan jalan
yang gelap gulita. Aku mungkin makhluk amfibi, entah seperti seekor katak
mungkin. Lompat sana lompat sini tak pernah pasti. Tapi rasanya katak mempunyai
martabat lebih baik dariku, mereka adalah nyanyian rindu pembawa pesan hujan,
mereka pun hanya memiliki satu wajah. Tak seperti diriku yang memiliki dua
wajah berbeda, satu berseri yang lainnya pahit begitu naif.
Adakah
Tuhan geram melihat tingkahku, yang selalu mengobral janji untuk membuang si wajah
pahit itu. Namun berapa kali aku berjanji selalu saja si wajah pahit itu
memanggilku dan menggodaku untuk kembali dan menyembunyikannya pada saku dalam
bajuku. Tuhan Maha melihat, sedalam apa pun sakuku, ia tetap tahu apa isinya,
dan saat itu, hanya sesal yang tiada arti kunikmati sesaat.
Koridor
kiri memang selalu menawarkan keasyikan yang menggoda, kebebasan tanpa adanya
aturan yang mengikat menjadi tawaran utama. Bukan sedikit dari mereka yang sama
sepertiku, menikmati keasyikan yang di tawarkan koridor kiri. Aku tak harus
bersusah payah mendaki dan melewati terjal be-batuan untuk sampai pada ujung
labirin di koridor kiri, karena tak ada yang harus dikhawatirkan selain
keasyikan.
Namun
pelajaran yang kudapatkan di koridor kanan selalu membayangiku, ketika aku
tersadar sesaat. Malu, rasa yang kudapat ketika tersadar, dan aku pun mulai bersimpuh
di hadapan Tuhan untuk memohon ampunan. Beberapa hari memang aku bertahan,
bahkan bisa sampai satu bulan penuh aku masygul di koridor kanan, mendalami
agama dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Dalam beberapa malam aku pun kadang
terlarut dalam sujud panjang di hadapan-Nya. Nikmat rasanya, hati dipenuhi dengan
rasa kenyamanan dan ketenangan.
Akan
tetapi setan tak mau kehilangan moment, mereka tak akan membiarkan setiap insan
untuk tetap di koridor kanan dan mencapai ujung labirin. Sampai kapan pun mereka
akan tetap berusaha keras menarik kembali setiap insan yang tengah berjalan di
koridor kanan, bahkan mereka tak akan membiarkan insan untuk sekedar
mendekatinya. Dan aku tak jarang kembali menuruti godaan setan. Berakhir dalam
penyesalan.
Takdir
memang menjadi suatu misteri tersendiri. Sebagian mengatakan bahwa takdir tidak
bisa di rubah, sebagian mengatakan takdir bisa dirubah dan sebagian lain
mengatakan bahwa takdir ada yang bisa dirubah dan tidak bisa di rubah. Tuhan
memang Maha kuasa dan Maha tahu segalanya, karena Tuhanlah yang menciptakan
sebuah labirin di atas tanah lapang dan menciptakan segala kemungkinan ketika
kita memilih sebuah koridor pada labirin tersebut. Dan Tuhan telah menciptakan
dua buah tempat yang menjadi ujung dari labirin kehidupan tersebut. Satu tempat
dengan segala keindahan dan kenikmatan yang ditawarkan diperuntukkan bagi
mereka yang mampu menempuh koridor kanan sampai ujung koridor tersebut. Dan satu
tempat yang penuh kengerian dan jeritan kesakitan di peruntukkan bagi mereka yang
memilih asyik di koridor kiri. Kedua tempat tersebut merupakan sebuah imbalan
atas apa yang telah di tempuh dan dilakukan oleh seorang insan dalam
kehidupannya. Jadi terserah kita mau memilih ending yang bagaimana, bahagia
atau sengsara. Kurang bijak rasanya jika kita menyalahkan Tuhan atas akibat
yang kita terima dari perbuatan kita sendiri, karena sebenarnya kitalah yang
memilihnya sendiri, ada akibat tentulah ada sebab, karena sebab dan akibat
adalah hukum alam yang tidak bisa dielakkan oleh semua insan.