Dahulu kala disebuah masa
putih abu-abu. saya melabuhkan diri di MAN Ciawigebang, sebuah sekolah mengah
atas yang terletak di sebrang jalan deket baso idola (entah sekarang masih
survive atau sudah collapse).
Seleksi masuk ke sekolah ini
tak terlalu sulit, hanya saja pada saat itu saya masih polongo sehingga tes
yang diselenggarakan oleh pihak sekolah menjadi sebuah ujian hidup yang teramat
berat. Namun ternyata hasil berbanding terbalik dengan kengerian yang saya
alami, saya lolos tes dengan hasil yang memuaskan.
Namun, kebahagiaan yang baru
mencuat itu kembali sedikit menciut ketika saya tahu bahwa tiga puluh lebih
siswa yang termasuk kedalam peringkat teratas hasil tes akan digabung dalam
satu kelas. Tak terbayangkan bagaimana saya bergerak ditengah hiruk pikuk
manusia-manusia dengan intelegensi yang duper. Hal demikian sering saya alami
manakala harus menghadapi situasi dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang
baru. Minder.
Pada akhirnya kelas unggulan
itu kandas, karena bagi kelas unggulan pembayaran spp pun lebih unggul dari
pada kelas lainnya (lebih mahal). Sehingga sekolah memberikan kesempatan bagi
siswa-siswi lain untuk mengisi kekosongan kelas tersebut, kelas percobaan
rintisan madrasah berstandar internasional.
Selain bersekolah saya pun
mengikuti program boarding school. (Pembahasan mengenai boarding school akan
saya buat terpisah).
Singkat cerita, akhirnya masa
itu tiba, naik ke kelas 2 berarti saya harus menentukan pilihan untuk memilih
habitat mana yang akan saya tinggali. Bahasa, IPA, IPS atau keagamaan. Dan saya
memilih tinggal dan belajar di habitat IPA. Perkiraan saya pada waktu itu bahwa
menetap di habitat IPA berarti akan ada banyak sekali hal-hal yang unik,
seperti percobaan kimia, fisika maupun biologi. Tapi naas, karena selain
percobaan-percobaan yang menarik itu, ada serangkaian rumus-rumus yang njlimet,
dan makin njlimet pada saat saya kelas tiga.
Akan tetapi, hidup di habitat
IPA gak selalu tentang rumus. Saya cukup beruntung bisa mengecap rasa
kebahagiaan dan kekeluargaan bersama di IPA 1. Terutama mereka yang tergabung
dalam TSN (temen setia nundutan). Yah, dosa-dosa masa lalu yang menggemaskan.
Nundutan saat guru menerangkan log log-an, atau juga malah so keren baca
majalah sastra saat guru memberi tugas merangkum di perpus. Hasilnya cuman bisa
melongo saat ditanya guru (mata sembab, pandangan masih burem), tak jarang juga
mendapatkan nilai 5 dari frekuensi 1- 100 karena hanya merangkum satu paragraf.
Hal yang lebih parah lagi
adalah ketika ujian akhir semester berlangsung. Setelah ujian mata pelajaran
pertama selesai ada jeda waktu sekitar setengah jam untuk memulai ujian
selanjutnya, dan pada waktu itu saya tidur-tiduran sambil menghafal di
sekertariat pondok. Menit berganti menit, hingga mulai terdengar sayup-sayup
suara teman-teman saya sedang memcari saya, sontak saya bangun dan mengecek
keluar. Eh ternyata, saya melewatkan ujian mata pelajaran kedua, gara-gara
ketiduran.
Nundutan dan ketiduran adalah
sepaket penyakit akut selama tiga tahun itu.
Semua yang telah terjadi kini
hanya mampu diputar kembali lewat ingatan.
Hampir empat tahun sudah
keluarga ini belum sempat kumpul lengkap.
Beberapa kali mencoba untuk
mengadakan acara reuni, yang datang cuman itu itu saja.
Bahkan saya belum
berkesempatan ikut kumpul bareng mereka.
Tapi kemarin selepas lebaran,
saya bersempatan kumpul dengan perwakilan dari mereka. Lima laki-laki gagah
berkumpul dalam satu kumparan (masih kurang dua).
Semoga semboyan yang ada pada
jaket kita (punya saya masih sering saya pakai loh, walau cuman dipakai saat
tidur hehe) bisa kita wujudkan,wabil khusus bisa saya wujudkan (karena yang
jarang ikut kumpul itu saya hmmmmm).
Exact One Always Together,