Mungkin sobat semua bertanya kenapa nama blog
ini harus Diary Peci Putih, ada apakah gerangan dengan peci putih? Yang jelas
bukan karena pada postingan pertama blog ini saya mencantumkan sebuah foto
ilustrasi, seorang pemuda yang menggunakan peci putih (itu asli saya).
Penamaan peci putih sebenarnya terinspirasi
dari seorang bapak yang kerap kali saya temui ketika berjama’ah shalat jum’at
di masjid Wasiatul Ulama (masjid dekat Pondok Pesantren Miftahul Falah di
Grenjeng Kelurahan Harjamukti). Entah apa mulanya saya mengagumi beliau, saya
hanya sempat bersalaman dengan beliau dua kali yaitu ketika ada acara di Pondok
Miffal (Miftahul Falah).
Peci putih adalah peci yang selalu beliau
kenakan ketika saya melihatnya, baik itu ketika shalat jum’at ataupun ketika
tak sengaja berpapasan di jalan. Belai selalu mengenakan sarung kemana pun ia
pergi, dan juga beliau selalu istiqamah menggunakan sorban ketika shalat
jum’at. Saya tak pernah tahu apakah tadinya beliau itu adalah seorang santri
atau bukan. Akan tetapi gaya berpakaian yang belaiu tonjolkan lebih kepada
sifat dan prilaku agamis walaupun saya juga tidak mengetahui prilaku
sehari-harinya seperti apa.
Namun meski beliau berpakaian agamis, saya tak
pernah melihat beliau menjadi seorang khatib atau sekedar adzan ketika jum’at.
Ini yang membuat saya penasaran, apakah karena ia tidak mau atau memang tidak
mampu? Namun itu menjadi tidaklah penting ketika saya melihat sisi lainnya
bahwa beliau tetap bangga dengan gaya berpakaiannya yang sederhana, lebih
tergolong seperti kaum sarungan.
Karena di zaman serba modern seperti sekarang
ini, orang lebih berlomba-lomba untuk tampil menawan dengan style
kebarat-baratan atau selalu berusaha tampil modis walau dengan modal cuman
pinjem (dalam beberapa kasus mereka cenderung tidak izin dulu ketika pinjem dan
bahkan ada yang sampai diakui sebagai barang miliknya alias tidak dikembalikan
lagi).
Kekaguman saya yang tak beralasan ini bukanlah
kali pertamanya. Pada saat saya masih di Salsabila (masa putih abu) saya pernah
mengagumi seorang habib yang fotonya saya comot dari google, tanpa saya tahu
nama habib itu siapa. Foto tersebut kemudian saya print dan saya simpan dalam
buku. Pada suatu hari teman saya memeritahukan bahwa foto itu adalah foto habib
Munzir (alm) pemimpin Majelis Rasulullah.
Biasanya rasa kagum timbul karena ada sesuatu
yang lebih pada diri seseorang yang dikaguminya, baik karya-karyanya maupun
prilakunya.
Satu hal yang terpenting adalah, boleh kita
mengagumi seseorang akan tetapi bukan berarti kita harus menjadi seperti orang
tersebut, kegamuman itu cukuplah sebagai suatu target untuk melampaui bukan
menyerupai atau kekaguman itu dibiarkan menjadi sebuah kekaguman saja dan kita
tetap menjadi diri kita yang berbeda dengan menempuh jalan yang berbeda dari
orang yang kita kagumi.